parenting

Helicopter Parenting

 

Helicopter Parenting
Helicopter Parenting

Ada gak nih parents yang menyelesaikan proyek sekolah atau pekerjaan rumah anak agar nilai anak lebih bagus? Atau selalu bantuin ngerjain PR anaknya karena takut anaknya salah ngerjain?
Tidak membiarkan anak untuk mengambil keputusan sendiri,
Memilihkan lingkaran pertemanan untuk anak,
Mendominasi atau bahkan mengerjakan tugas sekolah anak.
Eitss, hati-hati ya, jangan-jangan Parents termasuk dalam kategori Helicopter Parent!

Meski awalnya bertujuan melindungi si kecil dari kegagalan, pola asuh helikopter ini berisiko mengganggu proses tumbuh kembang hingga berdampak pada kesehatan mental anak. Wajar banget kok namanya orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak karena salah satu tugas orang tua adalah pelindung anak. Tetapi jika berlebihan ternyata efeknya menjadi kurang baik. Orang tua menjadi over-protective dan terlalu terlibat dalam kehidupan anak, dan oleh Foster Cline dan Jim Fay diistilahkan sebagai Helicopter Parenting.
Pola asuh helikopter atau helicopter parenting adalah jenis pola asuh orang tua yang sangat mengontrol dan memantau setiap gerak-gerik anak layaknya helikopter. Istilah helicopter parenting ini pertama kali dikenalkan oleh Dr. Haim G. Ginott, seorang psikolog anak, melalui buku “Between Parent & Teenager” pada tahun 1969 silam.

Helicopter parenting memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu:
*Terlalu ikut campur dengan masalah anak.
*Posesif.
*Mendominasi hingga memutuskan setiap pilihan hidup untuk anak.
*Orang tua sering membuat keputusan untuk anak tanpa bertanya pendapatnya
Mendominasi atau bahkan mengerjakan tugas sekolah anak.
*Cemas berlebih saat anak terjatuh atau terluka.
*Mengerjakan tugas pribadi anak.
*Terlalu mengontrol hidup anak
*Ketika anak mengalami kesulitan, orang tua langsung membantu tanpa memberikan anak kesempatan menyelesaikan masalahnya sendiri

Pada dasarnya, orang tua yang menerapkan pola asuh helikopter memiliki tujuan baik, yaitu untuk memastikan anak terhindar dari bahaya maupun kegagalan. Namun, karena dilakukan secara berlebihan tanpa memberikan ruang privasi, helicopter parenting justru dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak.
Beberapa penelitian menyebutkan dampak negatif dari helicopter parenting. Mulai dari memicu timbulnya gangguan kecemasan, terlalu bergantung pada orang lain, sering mengkritik diri sendiri, takut melakukan kesalahan, hingga resiko mengalami depresi. Selain itu helicopter parenting juga bisa membuat anak kurang mampu mengambil keputusan dan juga dapat berpengaruh terhadap kemampuan akademiknya.

Kenapa efeknya bisa seperti itu?

Pertama, orang tua yang melakukan helicopter parenting secara sadar atau tidak sadar memberi pesan kepada anak bahwa ia tidak aman jika orang tua tidak melindunginya. Akibatnya anak menjadi tidak siap menghadapi tantangan dalam dunia nyata. Mereka tidak mampu mencari solusi dan membuat keputusan saat menghadapi suatu masalah.

Selain itu karena anak-anak terbiasa harus memenuhi standar yang tinggi, mereka menjadi lebih mudah cemas. Adanya ketakutan mereka melakukan kesalahan atau mengalami kegagalan sehingga mereka menjadi mudah cemas dalam melakukan sesuatu. Ketika anak juga terlalu “disetir” kehidupannya, mereka menjadi tidak tahu tujuan hidupnya. Akibatnya mereka merasa “tersesat” dan juga kesulitan mencari makna serta kebahagiaan dalam hidupnya
Lalu gimana nih biar Parents nggak menjadi helicopter parent?

*Ajak Anak Berdiskusi
Ketika dihadapkan oleh suatu masalah, ajak anak untuk berdiskusi agar dapat menemukan solusinya bersama. Dukung kemandirian anak dengan mendengarkan anak, mulai dari mendengarkan cerita, mendengarkan pendapatnya mengenai sesuatu, hingga mendengarkan solusi dari sudut pandang anak ketika ia sedang menghadapi masalah. Hal ini dapat membantu anak untuk berpikir dan menemukan solusi terhadap permasalahannya sendiri kelak.
*Biarkan Anak Menentukan Pilihannya Sendiri.
Sebagai orang tua, Anda hanya perlu mengarahkan tanpa mengontrol penuh setiap keputusan anak. Batasi diri untuk terlalu terlibat dalam keseharian anak. Biarkan ia mengerjakan PR nya sendiri, biarkan ia menyelesaikan pertengkarannya dengan teman saat bermain, biarkan ia memilih mainan apa yang ingin dimainkannya, dan sebagainya. Secara tidak langsung, hal tersebut juga dapat membantu anak untuk mengenali dirinya sendiri.
*Ketika anak melakukan kesalahan, biarkan ia menghadapi konsekuensinya.
*Ajarkan anak untuk berkomunikasi secara asertif. Latih anak untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan dengan cara yang tepat
*Kendalikan Rasa Khawatir. Khawatir dengan keamanan dan masa depan anak merupakan hal yang wajar. Namun, ada baiknya untuk mengendalikan rasa khawatir tersebut agar tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Berikan kesempatan pada anak untuk bisa menggali potensi dalam dirinya, mengenali kelebihan dan kekurangannya, serta memikirkan cita-cita dan tujuan hidupnya sendiri. Alih-alih memantau kegiatannya setiap waktu, Anda dapat memastikan keamanan anak dengan berkomunikasi secara terbuka.
*Ketika anak mengalami kegagalan, beri contoh bagaimana caranya agar anak mampu bangkit kembali

Dorongan untuk melibatkan diri dalam kehidupan anak tumbuh dari perasaan cinta dan tanggung jawab kepada anak-anak kita. Namun perlu diingat pula bahwa tidak selamanya kita bisa mendampingi mereka. Oleh karena itu, mari berikan bekal kemandirian kepada anak-anak agar kelak mereka mampu menjadi sosok yang mampu menghadapi segala rintangan dalam hidupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *